Secara waktu, badai defisit semakin cepat terjadi. Baru pertengahan tahun 2019, keluhan BPJS Kesehatan dan rumah sakit semakin nyaring terdengar. Sebelum kebijakan menaikkan iuran premi peserta BPJS Kesehatan di ketok palu, perlu dicari akar solusi. Mengapa demikian, karena mengingat kesehatan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi masyarakat. Saat ini, jumlah peserta JKN-KIS yang terdaftar di BPJS Kesehatan Cabang Sleman sekitar 1,2 juta orang, sedangkan jumlah penduduk sekitar Rp 1,5 juta. Sehingga yang belum terdaftar sebagai peserta JKN-KIS sekitar 17 persen. Besaran jumlah penduduk tersebut didasarkan pada data kependudukan yang dikelola oleh Direktorat Jenderal/Dinas Kependuduk dan Pencatatan Sipil semester satu tahun 2018. Tingginya peserta yang mengakses membuktikan program ini dibutuhkan.
Sementara itu, berdasarkan laporan BPJS Cabang Sleman, jumlah peserta mandiri yang menunggak sekitar 23.739 KK (Kepala Keluarga). Sedangkan jumlah badan usaha yang menunggak sebanyak 45 badan usaha.Tunggakan pembayaran premi untuk peserta mandiri atau Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mencapai sekitar Rp 20,516 miliar. Sedangkan untuk peserta Badan Usaha (BU) mencapai Rp 153,838 juta. Solusi pemerintah untuk menaikkan premi BPJS dianggap memberatkan rakyat, khususnya rakyat peserta di kelas 3. Adapun beberapa alternatif solusi tersebut hendaknya berpihak kepada kepentingan dan kondisi rakyat. Apa alternatif solusinya?
- Jika biaya operasional terlalu tinggi, perlu dilakukan rasionalisasi biaya operasionalnya, termasuk gaji pegawainya.
- Ada daerah-daerah yang membuat kebijakan menjamin penuh biaya kesehatan warganya khususnya yang mau dirawat di klas 3. Hal ini menjadi potensi besar untuk berkolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk membuat kebijakan yang sama sehingga tujuan bernegara untuk melindungi masyarakat terkait kebutuhan dasarnya tercapai.
- Jika memang belum memungkinkan semua jaminan kesehatan warga dikelola secara nasional/terpusat, bukan hal yang tabu jika sebagiannya kembali diserahkan kepada pemerintah daerah dengan Jamkesdanya masing-masing, tentu dengan revisi Undang-undang terlebih dahulu.